Biarkan Anak-anak Itu...

16 Mei 2021, 07:05
KH
666

(Khotbah dalam pelayanan Sakramen Baptis Anak: 16 Mei 2021)

Teks Alkitab: Markus 10:13-16

Gambaran Injil Markus sangat jelas. Pada waktu anak-anak itu dibawa oleh orang tuanya kepada Yesus agar diberkati, . . . para murid memarahi orang tua dari anak-anak itu (ay 13). Imajinasi kita seperti mendengar kemarahan para murid Yesus:  "anak-anakmu itu mengganggu Guru, beliau sedang menjelaskan hal yang lebih penting. Jangan ganggu konsentrasi beliau dengan menyodorkan anak-anak kalian."

Yesus melihat apa yang dilakukan para murid-Nya, dan Yesus pun memarahi para murid-Nya, "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah" (Mark 10:14). Jelas buat kita bahwa Yesus mengasihi anak-anak dan memerintahkan para murid-Nya agar memberi tempat untuk anak-anak di hadirat Tuhan. Agar anak-anak itu dekat kepada Tuhan.

Perintah-Nya ini mempunyai konsekwensi yang jelas dalam kehidupan 'para murid Tuhan pada masa kini,' . . . dalam berbagai aspek kehidupan "keluarga Allah" (atau gereja di zaman modern). Apakah "para murid Yesus" (pada masa kini), masih juga bersikap seperti para murid Yesus 2000 tahun (lebih) yang lalu?

Demi pertumbuhan iman mereka, anak-anak perlu sedini mungkin merasakan cinta-kasih dan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka, melalui suasana dan praktik bergereja. Dalam istilah kekinian disebut sebagai: "gereja ramah anak." Apakah GKJ Jakarta ini telah menjadi "gereja ramah anak?" Atau hanya sebatas slogan kosong yang tidak ada buktinya?

Ketika teks Alkitab ini dibacakan, asosiasi pikiran kita lalu menangkap tiga KENYATAAN yang kita (dan anak-anak kita) hadapi pada masa kini.

 

Pertama, kenyataan, bahwa anak-anak merupakan kelompok terbesar dari populasi orang Kristen yang tidak ke gereja. Lebih banyak jumlah anak-anak di rumah pada hari Minggu pagi yang mengisi waktunya untuk hal-hal lain (nonton TV, dll.) daripada untuk mengikuti Ibadah Anak atau "Sekolah Minggu" di gereja (sekarang dilangsungkan online).

Jika kita (gereja) serius memandang perintah Yesus, "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku . . ," maka kita harus lebih agresif dalam mengajak anak-anak (termasuk anak-anak kita sendiri) yang tidak terlibat dalam Ibadah Anak atau Ibadah umum di Minggu pagi.

Kenyataan di atas dapat memperburuk generasi anak-anak kita.  Kita - generasi para orangtua mereka - tumbuh dekat dengan gereja dan mengenal kehidupan bergereja serta nilai-nilai kristiani yang ditularkan melalui cerita-cerita Alkitab pada masa kita kanak-kanak dan ingatan serta nilai-nilai itu kita bawa sampai kini. Kita mengenal Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, dan kisah-kisah penting dari Alkitab yang menjelaskan tentang nilai-nilai kristiani yang perlu kita miliki dan hayati sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan sehari-hari. Sementara anak-anak yang tidak ke gereja secara teratur, kurang mengenal dan kurang menjadikan hal-hal itu semua sebagai milik mereka, kurang atau tidak terinternalisasi dalam diri mereka. Akibatnya, . . . nilai-nilai sekuler menjadi dasar pertimbangan mereka yang lebih dominan dalam pengambilan keputusan, utamanya sejak mereka mulai remaja dan menjadi pemuda.

Contoh sederhana: (i) tentang peristiwa PASKA. Anak-anak kecil mungkin lebih mengenal telur Paska dan kelinci Paska, ketimbang Paska sebagai hari kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Mengapa Yesus wafat dan mengapa Dia bangkit? Atau (ii) peristiwa Natal: mereka lebih membayangkan tokoh Santa yang suka membagi-bagi hadiah untuk "anak-anak manis" ketimbang tentang Yesus yang dilahirkan di kandang Betlehem, yang kepada Dia anak-anak perlu belajar membawa hadiah.

Anak-anak ini tumbuh dan berkembang sebagai anak-anak yang tidak (atau kurang) menyadari kehadiran Allah di dalam hidup mereka.

 

Kedua, hal ini semua terjadi bukan karena kesalahan anak-anak itu, TETAPI terjadi akibat "pilihan orangtua mereka." Anak-anak kecil itu hanya melakukan apa yang dikatakan (atau apa yang menjadi pilihan) orang tua mereka. Dalam sejumlah kasus, ternyata orangtua pun tidak sengaja. Beberapa orang tua anak memang kurang berminat terhadap gereja, dan mereka tidak menyadari dampak jangka panjang dari sikap mereka itu pada anak-anak mereka. Mereka bukan orang tua yang benci gereja, mereka hanya apatis terhadap gereja. Mereka hanya merasa nyaman dengan gaya hidup mereka dan tidak mau terganggu. Mereka ingin menikmati Minggu pagi dengan santai di rumah, nonton filem di TV, atau melakukan hal-hal yang lain.

Ada juga orangtua yang bersikap permisif (serba membolehkan), terserah saja kepada anak-anak, apakah mereka mau ke gereja atau tidak. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada pilihan anak-anak mereka: pakaian, makanan yang mereka mau makan dan apa yang mereka akan lakukan pada hari Minggu pagi dan hari-hari liburan mereka. Ketimbang melatih anak-anak untuk berdisiplin, mereka membiarkan anak-anaknya belajar dari kesalahan dan kegagalan mereka sendiri.

 

Ketiga, para psikolog telah mengingatkan kita bahwa kepribadian anak sebagian besar terbentuk sampai mereka berusia 5 (lima) tahun. Jadi, sebelum mereka masuk sekolah, karakter seorang anak dan pola tingkah lakunya sudah hampir selesai pembentukannya. Tentu saja pola perkembangan religiusnya juga mengikuti proses itu, dan terbentuk pada usia dini, jauh sebelum mereka bisa menalarkan dan mengakui iman percayanya. Itu sebabnya Amsal 22:6 mengatakan, "Ajarlah seorang anak cara hidup yang patut baginya, maka sampai masa tuanya ia akan hidup demikian." (BIS)

Pada waktu kita menyadari apa yang telah dipahami oleh para ahli tentang perkembangan anak, penting sekali bagi orangtuanya (atau calon ayah dan ibu bagi anak-anak mereka) untuk memutuskan sedini mungkin (bahkan) sebelum anak-anak mereka dilahirkan, untuk membesarkan anak-anak mereka dalam lingkungan yang akrab pada gereja, untuk mendapat pendidikan religius sejak dini, untuk mengenal Tuhan dan merasakan kehadiran-Nya dalam hidup mereka, sampai tiba waktunya mereka secara dewasa mengakui percayanya dimuka publik (biasanya disebut: Sidi).

Di dalam Perjanjian Baru, ada dua kata yang digunakan untuk menyebut anak, yaitu: "tekna" dan "mikrone." "Mikrone" sering diterjemahkan menjadi: "(seseorang) yang kecil ini." Ada dua ayat terkenal yang menggunakan kata "mikrone":

(1) [Matius 10:42] ". . . barang siapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya." Kata "mikrone" digunakan untuk menyebut semua yang dipandang rendah pada jamannnya - orang miskin, orang lumpuh, orang yang terpinggirkan, pandatang asing dan . . . anak-anak. [Bayangkan anak-anak mendapat status seperti itu pada jaman Yesus. Apa jaman sekarang kita masih menganggap anak-anak serendah itu, sehingga tidak boleh turut serta dalam sakramen perjamuan kudus? Kecuali memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh orang dewasa?].

Sikap Yesus sangat jelas, Tuhan sangat berkepentingan agar "mereka yang kecil" itu dilindungi dan diperhatikan, sehingga penerimaan dan pelayanan kita kepada yang miskin, asing, lumpuh, dan semua yang dipinggirkan oleh masyarakatnya, termasuk kepada anak-anak, diterima Tuhan sebagai pelayanan kita kepada Tuhan sendiri.

(2) Matius 25:40 menegaskan hal itu, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku."

Saya akhiri khotbah ini dengan sebuah kutipan dari tulisan seorang pendeta kampus, yang menuliskan kesaksiannya sbb.:

"Jangan tanyakan kepada saya, mengapa Tuhan mengasihi anak-anak bandel seperti kita, betapapun kita berbeda satu sama lain, sejak usia dini kita telah dijadikan-Nya bagian dari tubuh Kristus atau gereja-Nya. Pengalaman yang saya ingat dan rasakan sangat dalam pada masa kanak-kanak saya, . . . waktu itu untuk pertama kalinya saya diikutsertakan dalam sakramen perjamuan kudus. Pengalaman pertama mengikuti sakramen perjamuan kudus yang tidak akan pernah saya lupakan. Karena pada saat itu saya merasakan bahwa Tuhan mencintai saya." Amin.

KH/kh