Yang Diutus

21 Maret 2020, 18:03
Yoel M. Indrasmoro
596

”Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam” (Yoh. 9:7). Ya, mengapa Siloam? Mengapa bukan Betesda? Dan mengapa bukan di rumah saja? Toh membasuh diri bisa di mana saja?

Yang Diutus

Kelihatannya ada makna simbolis yang hendak ditekankan Yesus di sini. Arti harfiah ”siloam” adalah pengirim atau pembawa, tetapi Yohanes mengartikannya sebagai ”yang diutus”. Lalu siapakah yang diutus?

Dalam ayat 4, Yesus menegaskan: ”Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang.” Jelas dalam kalimat ini, Yesuslah yang dimaksud dengan ”yang diutus itu”. Membasuh diri dalam kolam Siloam makna simbolisnya adalah membasuh diri di dalam Yesus sendiri.

Namun, jelas pula dalam ayat 4 tadi, setiap orang pada dasarnya juga ”yang diutus”. Perhatikan kata-kata Yesus tadi, kita harus mengerjakan pekerjaan Dia—Allah sendiri. Meskipun para ahli merasa bahwa seharusnya bukan kata jamak ”kita”, tetapi ”Aku” yang menunjuk kepada Yesus Orang Nazaret; namun Tuhan Yesus sendiri yang melibatkan para murid-Nya untuk mengerjakan pekerjaan Allah.

Sebenarnya itu pula yang dimaksudkan Yesus dengan pernyataan sebelumnya: ”Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” Dan inilah yang kurang dipahami para murid.

Salah Siapa?

Ketika menyaksikan orang yang buta sejak lahir, mereka tak dapat menahan hatinya untuk bertanya: ”Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga dia dilahirkan buta?” (Yoh. 9:2).

Pertanyaan yang lumrah. Begitulah kenyataan hidup manusia. Banyak orang merasa perlu berkomentar, bertanya, dan mempersoalkan sesuatu ketika melihat ada yang tidak normal di sekelilingnya.

Ketika sesuatu yang buruk terjadi, orang mulai gencar bertanya, ”Salah siapakah ini?” Atau: ”Dosa siapakah ini?” Hal macam begini memang telah ada dalam diri manusia berdosa, yang gemar mencari kambing hitam. Artinya, ada keinginan dalam hati manusia untuk mencari biang keladi dari setiap peristiwa abnormal yang ada. Sekali lagi, siapa yang salah?

Menanggapi pertanyaan itu, Yesus tegas menjawab, ”Bukan dia dan bukan juga orang tuanya.” Yesus tidak membiarkan percakapan itu berkembang luas. Dia tidak membiarkan para muridnya melanjutkan percakapan itu.

Yesus juga tidak membuka sama sekali kemungkinan untuk berpolemik. Seakan-akan Yesus hendak berkata, ”Jangan mempercakapkannya lagi. Itu merupakan karya Allah. Sekali lagi, bukan kesalahan dia atau kesalahan orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”

Menurut William Barclay penderitaan, kesengsaraan, sakit, kekecewaan, kehilangan, selalu merupakan kesempatan-kesempatan untuk memperlihatkan kemurahan Tuhan. Pertama, memberi kemampuan kepada si penderita untuk menunjukkan kasih Tuhan. Pengikut Kristus yang sedang menderita dapat memberikan kesaksian bagi dunia, bagaimana cara orang Kristen menghadapi penderitaan. Kedua, dengan memberikan pertolongan kepada mereka yang sedang mengalami penderitaan, kita dapat menunjukkan kepada orang lain mengenai kemuliaan dan kasih Tuhan.

Abdullah

Tak heran, Yesus melanjutkan ucapannya dengan kalimat yang kelihatannya memang tidak nyambung dengan pertanyaan para murid. Yesus berkata, ”Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus aku, selama hari masih siang; akan datang malam di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja. Selama aku di dalam dunia, Akulah terang dunia.”

Dalam kalimat tadi Yesus kembali menegaskan bahwa tugas bahkan keharusan seorang hamba Allah, abdi Allah, atau Abdullah ialah mengerjakan pekerjaan Allah. Melakukan pekerjaan Allah berarti melakukan apa yang Allah lakukan. Dan semuanya berawal dari cara pandang kita terhadap orang lain. Kita perlu melihat sesama kita dengan mata Allah. Itulah panggilan kepada kita selaku orang percaya. Kita diutus bukan hanya mempercakapkan penderitaan orang lain, kesengsaraan orang lain, keburukan orang lain, bahkan kejelekan orang lain, namun kita diutus untuk melakukan apa yang Allah lakukan!

Panggilan kita memang bukan untuk ngomong, tetapi untuk sungguh-sungguh mengerjakan apa yang seharusnya kita kerjakan. Allah adalah Allah yang bekerja. Hingga saat ini Dia tetap bekerja. Dan kita, umatnya, dipanggil untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Allah itu. Dan Yesus memang tidak asal ngomong. Dia melakukan sesuatu. Dan orang yang buta sejak lahirnya itu pun akhirnya dapat melihat.

Si Buta sebagai Yang Diutus

Menarik pula diperhatikan bahwa orang buta itu sendiri adalah pribadi yang diutus. Dia bersaksi, ”Orang yang disebut Yesus itu mengaduk tanah, mengoleskannya pada mataku dan berkata kepadaku, ’Pergilah ke Siloam dan basuhlah dirimu.’ Lalu aku pergi dan setelah aku membasuh diriku, aku dapat melihat” (Yoh. 9:11). Itulah kesaksiannya yang pertama.

Akan tetapi, ketika orang Farisi itu bertanya kepada orang yang telah melek itu, dengan tegas ia menyatakan bahwa Yesus seorang nabi (Lih. Yoh. 9:17). Dan ketika ditekan, orang itu pun berkata, ”Apakah orang itu orang berdosa aku tidak tahu; tetapi satu hal aku tahu, yaitu bahwa aku tadinya buta dan sekarang dapat melihat” (Yoh. 9:25)

Dan ketika dia diminta untuk menceritakan kembali proses penyembuhannya itu, dengan tegas dia berkata, ”Jika orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 9:33). Perkataanya inilah yang membuatnya diusir ke luar oleh orang-orang Farisi. Dan akhirnya, orang yang telah melek itu sungguh-sungguh berjumpa dengan Yesus dan percaya kepada-Nya.

Dan semuanya itu terjadi tatkala Yesus berhenti mempercakapkan orang buta itu, tetapi melakukan suatu tindakan bagi orang buta itu! Yesus tidak menjadikan orang itu sebagai bahan omongan, Dia melakukan sesuatu terhadap orang itu. Dan semua tindakan penyembuhan Yesus berasal dari cara pandang yang berbeda dengan para murid-Nya perihal orang buta itu. Sekali lagi, Orang Buta itu sungguh-sungguh telah menjadi ”pribadi yang diutus”.

Pertanyaannya sekarang: apakah pekerjaan Allah yang harus kita kerjakan di tengah wabah Covid-19? Dalam berita anugerah tadi, dinyatakan: ”Muliakanlah Tuhan dengan tubuhmu.” Menjaga kesehatan adalah salah satu cara memuliakan Tuhan. Jika kita menahan diri untuk membatasi aktivitas kita di luar rumah, bukan karena kita takut tertular, tetapi karena kita takut menulari, dan membuat orang lain tak mampu memuliakan Tuhan dengan tubuhnya. Makan teratur, istirahat cukup juga merupakan cara memuliakan Tuhan dengan tubuh kita.

Kita bisa berbagi doa, makanan, masker. Juga mendoakan para petugas kesehatan. Pada hemat saya juga sedang menolong para pasien agar mampu memuliakan Tuhan dengan tubuhnya. Ya, itulah cara-cara sederhana mengerjakan pekerjaan Tuhan. Dan pada titik itu, kita sungguh menjadi orang-orang yang diutus Tuhan sendiri. Amin.