Mengupayakan Kedewasaan yang Lain

19 Februari 2020, 19:02
KH
571


Photo by v2osk on Unsplash

Sejumlah orang mengeluh, ujarnya, di gereja dia tidak mengalami pertumbuhan iman. Lalu mencari gereja lain yang yang dipandang memberikan pengajaran melalui khotbah-khotbah yang lebih mendalam.

Orang itu mencari tempat yang membantu pertumbuhan spiritualitasnya kearah kedewasaan.

Saya mengerti bahwa orang meninggalkan gereja karena beragam alasan yang masuk akal, malah belakangan menjadi semacam “trend.” Orang bisa saja mengalami perubahan satu atau dua kali dalam masa hidupnya, tetapi pernyataan semacam “saya merasa lebih diperlengkapi di gereja lain” yang sesekali saya  dengar, menjadi sebuah alarm.

Saya juga menyaksikan bahwa mereka yang sering mengangggap dirinya lebih dewasa secara spiritual (atau setidak-tidaknya merasa orang lain kurang dewasa secara spiritual) cenderung

  • Mudah menghakimi orang lain
  • Kurang tertarik untuk berrelasi dengan teman-teman yang jarang ke gereja
  • Sering merasa tidak puas dengan gerejanya
  • Jarang melibatkan diri dalam kehidupan dan aktifitas jangka panjang di gerejanya
  • Cenderung berfokus pada diri sendiri

Pertanyaan yang kemudan muncul, “itukah ciri-ciri kedewasaan spiritual?”

Kedewasaan macam apa sih yang dicari orang?

Ada tiga hal yang sering dicampuradukkan dalam percakapan tentang kedewasaan dalam konteks gereja masa kini:

Kedalaman pengetahuan sering dipandang sebagai tujuan kedewasaan. Memang baik sekali kalau orang mempunyai pengetahuan mendalam tentang apa yang diimani, namun tingkat pengetahuan itu ternyata bukan jaminan serta tanda kedewasaan kristiani. Sejak jaman Rasul Paulus, telah dikatakan bahwa kasih lebih utama dari pada pengetahuan. Sebab kasih mempersatukan. Malah sejak awal sejumlah orang yang pengetahuannya minim tentang kitab suci, dipanggil untuk menjadi murid-murid-Nya yang pertama.

Kejelasan memang bukan kedangkalan, tetapi kedalaman juga tidak bertele-tele atau berbelit-belit. Kadang-kadang orang berpikir bahwa sesuatu yang mendalam itu berbelit-belit dan sukar dipahami. Ketika ibadah selesai dan orang bertanya “apa khotbahnya tadi?” Yang ditanya menjawab, “khotbahnya mendalam sekali, agak sulit saya memahaminya.” Itukah yang diharapkan?

Khotbah memang harus jelas. Tetapi para pengkhotbah juga sadar bahwa khotbahnya juga harus dalam. Nah di situ pengkhotbah sering terdorong untuk memberikan informasi lebih banyak dalam khotbahnya – demi sebuah ‘kedalaman’ - akibatnya sering malah membingungkan. Membuat khotbah yang jelas memang memerlukan persiapan yang lebih baik. Persiapan yang tergesa-gesa mudah membuat bingung ketimbang membuat sesuatu menjadi jelas. Kalau sasaran khotbah kita adalah mereka yang jarang ke gereja – namun tetap membantu pertumbuhan kedewasaan iman warga gereja secara umum – maka kejelasan mutlak diperlukan. Rasul Paulus rupanya juga sependapat dengan ini.

Banyak orang menyukai kejelasan ketimbang kompleksitas karena kejelasan menolong. Jika anda sungguh-sungguh ingin mengalami pertumbuhan iman maka kejelasan itu prioritas pertama.

Orang cenderung berpikir bahwa Gerejalah yang bertanggung jawab atas pertumbuhan iman seseorang. Orang meninggalkan gerejanya oleh karena merasa di situ imannya tidak bertumbuh. Masalahnya, pertumbuhan kedewasaan iman seseorang itu tanggungjawab siapa? Mengapa orang yang prihatin atas kedewasaan imannya justru mempersalahkan orang lain? Bukankah sikap bertanggung jawab merupakan tanda kedewasaan?

Memang benar gereja dapat membantu. Sama seperti sebuah gym dapat membantu tubuh seseorang menjadi lebih fit, tetapi akhir-akhirnya orang itu sendirilah yang dapat mendisiplinkan dirinya untuk berolahraga di gym agar tingkat kebugaran (fitness-level-)nya meningkat.

Kalau demikian adakah tanda-tanda ‘kedewasaan’ lain dalam gereja masa kini? Setidak-tidaknya ada lima ciri yang saya lihat:

Dorongan kuat untuk memberlakukan (menjadi pelaku). Memahami isi Alkitab bertujuan – tidak lain – untuk memberlakukannya. Kedewasaan yang menghormati Allah tidak lain adalah pemahaman yang diberlakukan melalui praktik cinta-kasih. Praktik cinta-kasih akan mengubah hidup kita. Praktik cinta-kasih akan mengubah perkawinan kita. Praktik cinta-kasih akan mengubah parenting kita. Praktik cinta-kasih kita kepada sesama dan kepada komunitas akan berdampak membuat perubahan-perubahan. Pengakuan serta pertobatan kita hendaklah otentik dan dalam. Transparansi kita hendaklah otentik. Serta kita hendaknya secara mengakar berkomitmen untuk memberlakukan iman kita.

Rendah hati. Kedewasaan kristiani selalu ditandai dengan sikap rendah hati.

Berhati sahabat (Berperilaku sebagai sahabat). Kedewasaan yang sesungguhnya terekspose melalui banyak hal bila terkait dengan sesama, tidak hanya memusat pada diri sendiri. Sikap kristiani yang dewasa akan tercermin dalam keterbukaan untuk membangun persahabatan dalam saling melayani dalam arti yang luas.

Adakah kita mengasihi (peduli kepada) saudara-saudara kita yang jarang bergereja? Perhatian terhadap saudara-saudara itu menjadi bagian penting dari sikap kristiani yang dewasa. Rasul Paulus dapat menjadi contoh arah kedewasaan seorang Kristen yang selalu memberi perhatian kepada mereka yang dalam keragu-raguan, kebingungan dan ditelan oleh pergumulan hidup sehari-hari. 

“Deep investment?” Seorang sahabat yang telah almarhum mencantumkan teks berikut di bawah foto ikon WA-nya: “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Kalau kita memperhatian kualitas dan kuantitas persembahan yang kita persembahkan, maka akan jelas terlihat korelasi antara sikap kedewasaan dengan persembahan kita kepada/melalui gereja di mana kita menjadi bagiannya. Silakan anda renungkan hal-hal itu.

Lalu,... apa yang kita pelajari tentang kedewasaan?

Bagaimana masa depan gereja andaikata kita sungguh menjadi pelaku dari apa yang telah kita pahami – mulai hal rendah hati, melayani dengan bersahabat, cinta-kasih -  dan memberi perhatian kepada mereka yang jarang ke gereja, serta memberi persembahan yang sepadan dengan kemampuan kita bagi pekerjaan-pekerjaan Tuhan? [kh]

Diolah kembali dari: “Different Kind of Maturity”