Membaca Alkitab dengan Mata Palestina

28 Februari 2020, 22:02
KH
540

Pendeta Mitri Raheb, seorang Palestina, pendeta gereja Luteran yang tinggal dan melayani di Betlehem, menuliskan sudut pandangnya sebagai seorang Palestina dalam membaca Alkitab. Raheb menulis buku Faith in the Face of Empire: The Bible Through Palestinian Eyes (Maryknoll, NY: Orbis Books: 2014).

Raheb mencatat bahwa orang Kristen sering tidak menyadari bahwa pada zaman-Nya, Yesus tinggal di kawasan yang diduduki oleh penguasa penjajah. Penjajah membawa serta budayanya yang berbeda dari budaya Yesus dan masyarakat setempat pada masa itu. Tanah asal keluarga dan budaya Yesus diduduki oleh musuh yang sangat kuat.

Menurut Raheb, orang Kristen masa kini sebagai pembaca Alkitab perlu menyadari dan mengingat hal itu agar dapat membaca Alkitab dan memahami pengajaran dan Injil Yesus dengan lebih baik. Membaca teks tanpa memahami konteks penulisannya akan berbahaya, karena kita akan kehilangan maknanya. Dapat kita bayangkan betapa bedanya bentuk kekristenan pada masa kini jika sejak awal kita membaca Alitab dengan membawa kesadaran akan kenyataan itu. Kesadaran akan kenyataan Palestina itu akan memberikan perspektif yang unik untuk memahami serta menafsirkan Injil. Sesuatu yang dapat kita pelajari dari pendeta Mitri Raheb.

Sebagai seorang Palestina, tanah Palestina bagi Raheb merupakan tanah para leluhurnya secara fisik maupun spiritual. “Kisah-kisah Alkitab merupakan penggalan-penggalan sejarah nasional saya, sejarah dari pendudukan berkelanjutan oleh kerajaan-kerajaan pemenang. Menurut Raheb, kisah-kisah Alkitab dapat dipahami sebagai respon atas sejarah geo-politik dari kawasan itu,” kata Raheb.

Yesus seorang Yahudi Palestina dari Timur Tengah. Andaikan pada saat ini Yesus bepergian ke negara-negara Barat, tidak mustahil “secara acak” Yesus akan ditarik ke samping oleh petugas imigrasi negara yang Dia masuki untuk pemeriksaan diri-Nya serta kelengkapan dokumen-dokumen perjalanan-Nya. Alkitab adalah sebuah kitab Timur Tengah. Ditulis di situ di tengah kompleksitas masyarakatnya. Menurut Raheb, “walaupun hal yang saya kemukakan ini jelas buat semua, tetapi saya berkeyakinan bahwa latar belakang itu belum cukup diperhatikan dalam pembacaan Alkitab.” Kendatipun demikian – sebagai seorang Palestina – Raheb mengakui bahwa dirinya sendiri masih kurang dari dua dasawarsa menyadari pentingnya wawasan geo-politik kawasan itu dalam membaca Alkitab. “Saya mulai memahami bahwa bukan sebuah kebetulan bila ketiga agama monoteistik (maksudnya agama Yahudi, Kristen dan Islam - kh) serta kitab sucinya muncul dari kawasan yang sama.” Bagi Raheb, “sebagai seorang Kristen Palestina, kenyataan itu menjadi sebuah penemuan yang sangat menarik.”

Selanjutnya Raheb juga melihat bahwa penemuan (atau kesadaran) itu tidak terlalu mendapat perhatian dalam dunia akademis di Barat. Bagi Raheb, penemuan itu bukan hasil studi yang dilakukan pada sebuah pusat penelitian, akan tetapi merupakan pemahaman yang berangsur-angsur makin jelas yang ia kumpulkan dari lapangan dengan mengamati gerakan-gerakan dan proses-proses yang berlangsung di Palestina dalam perode yang panjang. “Singkatnya, saya mengamati, menganalisis dan mencoba memahami apa yang berlangsung di sekitar saya,” katanya. 

Ia juga melihat bahwa penguasa penjajah negerinya menciptakan teologinya sendiri untuk membenarkan pendudukannya. Penindasan semacam itu memunculkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan penting dari pihak yang terjajah. Pertanyaan-pertanyaan itu menurut Raheb, misalnya: “Di manakah Engkau Tuhan?” dan “Mengapa Tuhan tidak bertindak untuk membebaskan umat-Nya?” Pada waktu berada di bawah berbagai rezim, dengan identitas yang berbeda-beda pada bagian Palestina yang berbeda, pertanyaan yang muncul ialah, “Lalu, siapakah sesamaku?” Pada akhirnya, pertanyaan yang terus menerus muncul ialah, “Bagaimana kemerdekaan dapat diperoleh?” Menurut Raheb, pertanyaan-pertanyaan itu serta jawabannya yang berbeda-beda dapat ditemukan di dalam Alkitab, seperti yang ditemukan di Palestina pada masa kini.

Sebagai pendeta Raheb menolak untuk memisahkan realitas getir ini dari realitas dalam Alkitab dengan hanya mengkhotbahkan “injil murahan” yang tidak menantang realitas itu maupun yang tidak tertantang olehnya. [kh]

Rujukan: Mitri Raheb, Faith in the Face of Empire: The Bible Through Palestinian Eyes (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2014), 1-2, 3.