Khotbah Minggu 17 Mei 2020

17 Mei 2020, 20:05
KH
2925

Minggu: 17 Mei 2020

Bacaan Injil:  Yohanes 14:15-21

Kepada para murid-Nya, Yesus berkata: “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu.” Pernyataan ini disampaikan Yesus pada jamuan makan malam terakhir, sebelum Ia ditangkap. Para murid sudah makan sampai kenyang, kaki mereka sudah dibasuh oleh Sang Guru. Yudas Iskariot yang berkhianat sudah meninggalkan ruangan. Waktunya: malam hari. Di luar sudah gelap. Pada saat itulah Yesus menyatakan bahwa Dia akan meninggalkan para murid-Nya.

Sekarang, . . pada hari-hari ini . . . dalam arti tertentu, kita sedang merindukan kembali janji Yesus itu, “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu.” Mengapa? Karena janji itu berbicara langsung kepada kita pada saat kita cemas dan berhadapan dengan pandemi besar yang sedang menghantui kita pada saat ini. Ketika kita merasa berada dalam isolasi, terabaikan dan merasa sendiri serta sadar akan keringkihan kita.

Sabda Yesus ini mengingatkan kita bahwa kita tidak ditakdirkan untuk menjalani hidup kita di dunia ini tanpa identitas dan tanpa arah. Kita bukan musafir-musafir yang berjalan sendirian di padang gurun kehidupan yang rumpil. Bukan, kita bukan orang hilang yang tanpa identitas!

Secara pasti, hidup kita memang harus melalui berbagai musim, berbagai momen, berbagai transisi dan transformasi, perubahan serta tragedi yang dapat menimbulkan perasaan ‘yatim piatu.’ Diucapkan atau tidak, kita mulai bertanya-tanya di dalam hati kita: Sekarang apa yang harus saya lakukan? Kemana arah perjalanan hidup saya selanjutnya? Apa yang akan terjadi berikutnya? Siapa yang akan mengasihi, merawat, dan mendampingi saya? Siapa yang akan berada di samping saya? Akan bagaimana nasibku nanti?

Persis kalau seorang ibu harus pergi ke luar negeri untuk studi lanjut selama satu atau dua tahun dan meninggalkan anak-anak serta ayah mereka di Indonesia. Anak-anak akan serta-merta bertanya: “Bagaimana kalau ibu tidak ada? Kalau terjadi sesuatu apa yang harus kami lakukan?” Perasaan ‘yatim piatu’ itu nyata sekali karena peran ibu yang sangat besar dalam keluarga.

Perasaan dan pertanyaan yang sama juga telah tersimpan dalam-dalam bersamaan dengan merebaknya pandemi Covid-19. “Apakah kami ditinggalkan sendiri? Sementara tayangan berita terus-menerus mewartakan tentang Covid-19 yang mencekam. Bagaimana kita dapat ‘move forward’ dan ’move on’ secepatnya serta melanjutkan pembangunan? Siapa yang akan menolong kami? Setelah pandemi ini berakhir lalu bagaimana? Dapatkan semuanya kembali ‘normal’ seperti semula?” Sementara mereka yang berfikir kritis sudah mulai memperhitungkan “bentuk ke-normal-an yang baru” yang tidak mungkin sama persis dengan kenormalan lama yang kita sudah terbiasa.

Setiap orang yang pernah dikasihi & mengasihi dan kehilangan orang yang dikasihi & mengasihinya – misalnya: pasangan hidupnya, anaknya, sahabatnya, atau kehilangan rasa aman serta pengharapan – mengenal sekali pertanyaan-pertanyan ‘yatim piatu’ di atas tadi. Kita cemas membayangkan akan menjadi ‘yatim piatu.’

Kecemasan itu menunjukkan realitas yang lebih dalam tentang manusia. Bahwa manusia memang bukan ciptaan yang dirancang untuk berdiri sendiri sebagai individu. Manusia diciptakan untuk berada dalam jaringan relasi mengasihi dan dikasihi, untuk hidup berelasi dengan saling memberi, untuk tinggal, untuk ber-ada dalam relasi satu sama lain – seperti Bapa di dalam Yesus dan Yesus di dalam Bapa; sebuah antitesis dari keadaan ‘yatim piatu.’

“Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu.” Itulah janji-Nya. Janji itu tidak akan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan kita, badai persoalan, kematian, perpisahan, atau apa pun. Kita tidak pernah dan tidak akan pernah ditinggalkan ‘yatim piatu’ oleh Tuhan. Suatu janji yang asing di telinga para murid pada malam itu.

Dalam percakapan yang sama, Yesus mengatakan kepada para murid bahwa Dia akan pergi dan akan kembali. Pergi dan kembali, dua hal yang saling berlawanan. Yang dikatakan Yesus tidak lain adalah ajakan untuk melihat dan untuk hidup dengan cara yang berbeda. Itu mirip dengan yang dulu mungkin pernah kita tulis dalam surat kita kepada kekasih kita, “aku pergi, tetapi aku tidak akan pernah meninggalkanmu” pada saat kita harus menjalankan tugas - dalam waktu tertentu - ke tempat lain yang jauh dan agak lama.

Meninggalkan” dan “datang kembali.” . . . Absence dan re-presence. Dua dimensi yang saling tarik menarik. Tidak untuk dilihat sebagai hal yang saling terpisah. Itulah yang disodorkan oleh Yesus bagi kita melalui bacaan Injil hari ini. Ketegangan antara “meninggalkan” dan “datang kembali” itu membuat kita berhadapan muka dengan pertanyaan berikut: “Sejujurnya, untuk kita, Yesus itu sebuah memori (ingatan) atas sebuah peristiwa di masa lalu atau realitas masa kini?”

Apakah ‘peristiwa Yesus’ merupakan sebuah kisah sentimental, sebuah sejarah, yang membuat kita merasa nyaman, . . . atau . . . suatu pengalaman hidup yang menuntun, yang menantang, serta sekaligus merawat hidup kita pada masa kini?

Menurut Yesus jawab atas pertanyaan itu ditentukan oleh kasih yang kita nyatakan dan kita penuhi melalui ketaatan kita kepada “segala perintah-Nya.” Perintah untuk mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri, perintah untuk mengasihi musuh-musuh kita, perintah untuk mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa, akal-budi dan kekuatan kita.

. . . . . . . . . . . .

Siapa saja yang telah kita basuh kakinya dan siapa yang kita abaikan dan tidak kita basuh? Apa yang menjadi batas cinta-kasih kita? Adakah kita menuruti segala perintah-Nya? Apakah kasih kita bertumbuh, makin meluas dan transformatif baik bagi diri sendiri maupun bagi dunia di sekitar kita? Kalau jawab kita positif, maka Yesus agaknya telah menjadi realitas ke-kini-an kita dan kita melihat bahwa Ia memenuhi janji-Nya, tidak meningalkan kita sebagai ‘yatim piatu.’

Namun andaikata ternyata kita tidak mengasihi sepenuhnya, dan kita membiarkan diri tertutup dalam kesendirian, maka agaknya kita telah membuat diri kita sendiri terbuang ke dalam status ‘yatim piatu.’ 

Menerima dan melakukan perintah Yesus menjadi satu-satunya akses atau channel untuk dapat mengalami kehadiran Yesus yang telah berjanji ‘tidak akan meninggalkan kita sebagai yatim piatu.’ Mentaati perintah-Nya bukan berarti Yesus lalu hadir di depan kita. Tetapi, ketaatan itu membuat kita terlibat di dalam realitas kehadiran Yesus yang sedang aktif di tengah kehidupan manusia.

Menerima dan melakukan perintah-Nya tidak membuat Yesus tiba-tiba mengasihi kita, tetapi membuat kasih kita kepada Dia terwujud nyata, kasih yang berasal dari kasih-Nya yang kekal, yang hadir di antara kita. Setiap kali kita berusaha melebarkan batas-batas kasih kita itu, maka kita pun seperti sedang mendorong menjauhkan kemungkinan menjadi ‘yatim-piatu.’
Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu,” . . . setiap kali, . . . dari hari ke hari, apapun yang sedang terjadi dan sedang menjadi pergumulan kita. Kita tidak pernah diabaikan-Nya.

Karena itu kita juga jangan mengabaikan diri kita sendiri dan mengabaikan sesama kita ke dalam situasi ‘ke-yatim-piatu-an.’ Kasihilah dengan segenap keberadaanmu seperti halnya Bapa dan Yesus mengasihi kita dengan sepenuhnya.

Amin.

Michigan: 17 Mei 2020.

Pdt. Kadarmanto Hardjowasito