Gereja di Timur Tengah

08 Februari 2020, 19:02
KH
553

“Di tengah perang saudara yang hancur-hancuran, komunitas Kristen di Siria tetap teguh dan berkomitmen dalam melayani di tengah konflik,” kata Najla Kassab Abousawan, ketua umum (president) World Communion of Reformed Churches (WCRC), dalam kuliah umum tanggal 28 Januari 2020 di Calvin University, Michigan.

Sejumlah isu yang dipaparkan dalam kesempatan itu terkait dengan kehadiran gereja di Timur Tengah, khususnya di Siria yang tengah dilanda perang saudara.

“Gereja-gereja di Siria bergiat di luar tembok gereja dan memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan,” kata Kassab, salah seorang perempuan pertama yang ditahbiskan sebagai pendeta di Sinode Nasional di Siria dan Lebanon. Jumlah orang Kristen di Siria terus berkurang dari sekitar satu juta sebelum perang saudara menjadi sekitar 400.000 pada saat ini. “Tetapi saya menyaksikan bahwa gereja menjadi makin kuat dibandingkan sebelum perang, karena komitmen gereja-gereja menguat,” kata Kassab.

Kassab menyelesaikan kesarjanaannya dalam bidang Pendidikan Kristiani dari Near East School of Theology pada tahun 1987 serta Master of Divinity dari Princeton Theological Seminary tahun 1990.

Tahun 1993 Kassab menerima lisensi pertama kepada perempuan untuk berkhotbah dari Sinode Siria dan Lebanon, lalu Maret 2017 ditahbiskan sebagai perempuan kedua ke dalam jabatan pendeta dalam Sinode yang sama. Kassab juga memaparkan sejarah kehadiran gereja-gereja Protestan di Timur Tengah dan bagaimana kelompok kecil gereja-gereja ini membawa perubahan dalam bidang pendidikan, layanan sosial, serta mendongkrak peran perempuan.

Para misionaris Presbiterian membuka American University of Beirut – salah satu universitas pertama di Lebanon – pada pertengahan tahun 1800an. Kemudian juga sebuah rumah sakit dan panti asuhan yang terkait dengan universitas. Tahun 1880an mereka membuka Sekolah untuk Anak-anak Perempuan yang sangat membantu dalam mengubah pandangan terhadap perempuan serta berbagai pembatasan dan larangan bagi perempuan. “Pendidikan telah membantu memberdayakan serta meningkatkan status perempuan, yang ujung-ujungnya membawa kepada pemerdekaan perempuan Timur Tengah dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menggunakan talenta-talentanya bagi pengembangan masyarakat. Saya adalah produk dari pendidikan tersebut,” kata Kassab.

Kassab juga menunjukkan peran gereja dalam bidang penerbitan yang membantu pendidikan dan dalam menerjemahkan Alkitab serta materi-materi lain ke dalam berbagai bahasa yang digunakan di Timur Tengah.

Ditambahkan juga bahwa gereja-gereja Protestan telah memainkan peran yang penting dalam gerakan ekumene. “Kami telah terpanggil untuk membuka diri kepada gereja-gereja lain dan bekerja sama secara lebih dekat, sebagai salah satu cara untuk mewujudkan cinta kasih Kristus.”

Di Siria dan Lebanon, sekolah menjadi tempat di situ para siswa Kristen dan Muslim bersama-sama belajar dan membangun persahabatan.

Sekolah juga sering menjadi satu-satunya opsi bagi anak-anak dari kamp-kamp pengungsi, karena anak-anak mendapat tambahan makanan, mereka bisa mandi dan kadang-kadang tinggal beberapa waktu untuk terhindar dari keributan yang sedang berlangsung di kamp pengungsi.

Menyongsong masa depan, Kassab mengatakan bahwa “gereja harus memainkan peran penting dalam membantu mewujudkan pemulihan dan rekonsiliasi ketika perang berakhir serta para pengungsi beramai-ramai kembali ke rumah-rumah mereka di Siria, khususnya dalam membangun jembatan di antara umat beragama. Kami perlu mendorong terjadinya dialog kehidupan,” kata Kassab. “Banyak kekayaan yang diperoleh kalau kita tumbuh bersama agama-agama lain. Umat Muslim juga anak-anak Allah,” paparnya.

“Di kawasan tempat lahirnya agama-agama Yahudi, Kristen dan Islam, gereja harus bertumpu pada akar panggilannya untuk mengasihi walaupun peperangan sedang berkecamuk. Kita perlu mengutamakan aspek-aspek moderat dari agama,” kata Kassab. “Kekerasan yang makin didorong hanya akan membuat kita terperangkap dalam ketakutan serta menjadi lahan berkembangnya radikalisme,” pungkasnya.

CRC Communication

Editor: Kadarmanto Hardjowasito