Cara Pandang

28 Februari 2020, 22:02
KH
511


Photo by Larm Rmah on Unsplash

Sepanjang jaman, konon mayoritas penduduk bumi adalah orang-orang miskin, penyandang disabilitas, atau orang yang tertindas oleh satu dan lain hal. Mereka berada “di bawah” dan melihat serta menafsirkan sejarah dari sudut pandang mereka yang bukan penguasa. Mereka adalah orang-orang kecil yang merindukan perubahan ke arah yang lebih baik. Sementara sejarah ditulis dan/atau ditafsirkan oleh penguasa atau pemenang, dari sisi yang berkuasa, dari sisi yang sedang memerintah.

Ada satu perkecualian yang unik yaitu Alkitab, kisah-kisah di dalamnya ditulis dari sisi mereka yang ‘diperbudak,’ yang berada di bawah tekanan, serta mereka yang karena satu dan lain hal tertindas. Kisah-kisah dalam Alkitab berpuncak pada tokoh Yesus yang telah dikambinghitamkan oleh penguasa.

Di dalam kitab-kitab Injil kita melihat, orang-orang miskin, buta, pelacur, pemungut cukai, orang-orang berdosa, orang luar dan orang asing yang justru menjadi pengikut Yesus yang mula-mula. Mereka yang di dalam lingkaran kekuasaan dan di atas – penjajah Romawi, imam-iman kepala serta para pendukungnya – malah yang menyalibkan Yesus.

Bukankah realitas itu mengatakan sesuatu kepada kita tentang peran sudut pandang yang teramat penting? Setiap sudut pandang adalah pandangan dari sudut tertentu. Kita perlu belajar mengritik sudut pandang sendiri jika kita ingin melihat kebenaran secara lebih utuh.

Teologi pembebasan – yang berfokus pada pembebasan manusia dari penindasan agama, politik, sosial dan ekonomi – secara umum diabaikan oleh orang-orang Kristen di negara-negara maju. Mungkin kita tidak perlu heran ketika kita menyadari siapa penafsir Kitab Suci selama tujuh ratus tahun terakhir. Mereka adalah (kelas) para klerus (mereka yang tertahbis) yang berkedudukan dalam gereja yang mengunakan sudut pandangnya dan mereka bukan orang-orang yang dimarjinalkan yang (justru) menjadi sasaran pertama penerima kabar Injil dan telah menerima Injil dengan penuh sukacita dan harapan.

Pada saat kekristenan menjadi agama resmi dalam Kekaisaran Romawi (setelah tahun 313), gereja secara umum tidak lagi membaca Alkitab dari sudut pandang “yang miskin dan tertindas.” Gereja membaca dari sudut pandang politik yang mapan, yang memegang kekuasaan dan biasanya juga para imam yang mapan dan nyaman ketimbang dari sudut pandang mereka yang berjuang mencari keadilan dan kebenaran.

Menggeser prioritas kita untuk memberi ruang kepada yang tidak mempunyai kuasa - ketimbang mengakomodasi kepentingan para penguasa - merupakan upaya menceraikan agama dari perkawinannya dengan penguasa, dengan uang dan memprioritaskan kepentingan sendiri. Ketika Alkitab dibaca dengan mata mereka yang rentan – yang biasanya disebut “preferential option for the poor” atau “bias dari bawah” – maka pembacaan itu akan memerdekakan dan bersifat transformatif. Alkitab tidak digunakan sebagai sarana penindasan atau sekedar sarana mengail kehormatan dan keuntungan tertentu.

Pergumulannya bukan lagi di sekitar pertanyaan, “Bagaimana status quo bisa dipertahankan?” (yang ternyata menguntungkan saya), tetapi “Bagaimana kita semua dapat bertumbuh dan berubah bersama?”

Tidak ada lagi ‘puncak’ yang harus dilindungi. Sementara apa yang disebut “bawah” (grassroot; akar rumput) menjadi tempat pembelajaran, tempat perubahan yang sesungguhnya serta tansformasi buat semua.

Yang “di bawah,” atau yang disebut oleh Yesus sebagai yang “miskin di hadapan Allah” (Mat. 5:3), ialah kita yang tidak mempunyai privilese untuk memberi bukti atau melindungi tetapi yang mencari dan mau berubah. Yesus menyebut mereka itu “berbahagia.”

Tentu saja, kalau kita tidak ingin jatuh terlalu keras, hiduplah dekat ke “bawah.” Hidup dekat ke bawah jatuhnya tidak akan terlalu sakit, dan kita tidak punya banyak hal yang ingin dipertahankan. Dari posisi itu, ketika tidak banyak yang dapat dipilih atau diharapkan, agaknya kita akan lebih berguna sebagai instrumen tansformasi dan pemerdekaan bagi dunia sekitar. [KH/kh]