Berbicara dengan Saling Menatap dan Membangun Persahabatan

31 Januari 2020, 20:01
KH
624


sumber gambar: shutterstock

Ini bukan hanya soal sopan santun. Tetapi soal menjadi warga negara dan anggota masyarakat serta komunitas yang bertanggung jawab. Juga menjadi suatu cara untuk memelihara hubungan dengan orang-orang di sekitar kita, membuang sekat-sekat sosial, serta memahami siapa yang akan kita percaya.

Bila kita berada dalam kultur masyarakat yang mudah melaporkan seseorang kepada otoritas – karena kata-kata atau komentar dan pendapatnya dianggap tidak tepat atau membahayakan – maka kita ingin memastikan suasana psikologis dari realitas sehari-hari di sekitar kita atau yang sedang kita hadapi. Di sini otoritas bisa berarti penguasa resmi atau sebuah lingkungan sosial yang dapat memberi tekanan sosial.

Penguasa yang memerintah sebagai tiran muncul pada era yang berbeda-beda dan membangkitkan kembali ingatan para korban akan momen-momen traumatis tertentu dalam masa hidupnya. Apakah ingatan yang timbul kembali itu tentang tirani Hitler di Jerman tahun 1930an, atau penguasa fasis di Italia tahun 1920an, atau teror besar pada tahun 1937-38 di Uni Soviet, atau peristiwa G-30-S tahun 1965, bagi mereka yang hidup dalam ketakutan akan represi mereka mengingat perlakuan sesamanya terhadap dirinya. Sehingga sebuah senyuman yang tulus, uluran tangan untuk bersalaman, atau sapaan dan ucapan selamat – hal-hal yang lumrah dalam situasi normal – menjadi gesture yang sangat berarti buat mereka. Manakala seorang teman, atau sejawat, atau kenalan membuang muka atau menyeberang jalan menghindari perjumpaan dengan diri kita, maka rasa cemas pun timbul dalam hati. Kita tidak mengetahui, hari ini atau esok, siapa yang merasa cemas di kampung halaman atau di dalam komunitasnya sendiri. Dibutuhkan sikap afirmatif terhadap sesama sehingga orang-orang tertentu akan merasa nyaman berbicara dengan kita.

Dalam pengalaman berhadapan dengan situasi yang sangat genting, para survivor (mereka yang dapat meloloskan diri atau survive) pada umumnya mengetahui siapa yang dapat mereka percaya, sahabat-sahabat lama pada umumnya menjadi andalan terakhir.

Membangun persahabatan baru menjadi langkah pertama menuju transformasi atau perubahan positif. [kh]

Sabda Yesus: “Kamu adalah sahabat-Ku . . .” (Yohanes 15:13 dst.)