Menyalibkan Diri

10 Agustus 2019, 14:08
Yoel M. Indrasmoro
663

”Seseorang yang sudah menikah selama 50 tahun ditanya tentang rahasia perkawinannya yang bahagia. Dia menjawab, setiap hari ada sesuatu yang dia tahan untuk dikatakan. Dia menyalibkan dirinya setiap hari.”

Demikianlah salah satu kunci rumah tangga sehat menurut Ajith Fernando, dalam bukunya Aku dan Seisi Rumahku: Kehidupan Keluarga Pemimpin Kristiani. Masih menurut Ajith Fernando, ”Kegagalan kita untuk menyalibkan diri akan membawa ketidakbahagiaan dalam rumah tangga kita.”

Sejatinya, menyalibkan diri merupakan praktik dasar dalam kehidupan bersama kristiani. Jika tidak ada yang mau menyalibkan diri bisa dipastikan bahwa sebuah keluarga akan hancur berantakan. Dan akan lebih baik lagi, jika setiap orang mendahulukan kepentingan pasangannya.

Dalam sebuah perkawinan, jelas Ajith, ”Akhir dari konflik yang kita harapkan bukanlah kemenangan ego, melainkan kesatuan di bawah kehendak Allah dan ketika kita sudah menemukannya, maka kita harus tunduk terhadap kehendak Allah tersebut.” Dengan kata lain, bukan siapa yang menang, tetapi Allahlah yang harus dimuliakan.

Tak gampang memang. Namun, menyangkal diri demi ketaatan kepada Kristus sesungguhnya merupakan jalan menuju hidup. Tak hanya di dunia nanti, tetapi juga di dunia perkawinan kita.

Dan itu bisa dimulai dengan belajar menahan diri untuk mengatakan sesuatu yang mungkin menyakitkan pasangan kita. Terutama ketika hati kita sedang dikuasai emosi.


(Tulisan ini telah terbit sebelumnya di https://literaturperkantas.net/dari-redaksi/menyalibkan-diri/ )