Menerbangkan Layang-layang GKJ

29 Januari 2019, 17:01
KH
603

Lahir dan besar di 'luar Jawa' saya mengenal GKJ sejak saya bersekolah di Yogyakarta, Agustus 1961. Turut beribadah di gereja terbesar di situ, dan turut katekisasi persiapan sidi. Beberapa bulan kemudian saya "men-drop-out-kan" diri dari kelas katekisasi. Penyebabnya? Saya beranggapan pengajar katekisasi tidak bermutu. Bicara selalu mutar-mutar dan untuk setiap pertanyaan kritis yang saya ajukan jawabannya selalu diakhiri dengan kalimat, "yang penting, kamu percaya kepada Tuhan Yesus." Dan saya selalu mengatakan 'karena saya percaya saya membutuhkan penjelasan.' Itulah sebabnya saya turut katekisasi (persiapan) sidi 1.

Namun demikian saya berusaha terus untuk memahami etos spiritual GKJ melalui dialog-dialog saya dengan 'mbah pendito' Josafat Darmohatmodjo di Yogyakarta. Beliau selalu berusaha menjelaskan dan menghidupi pertanyaan-pertanyaan saya. Beliau juga menyarankan agar saya sekolah teologi di STT Jakarta.

Saya membayangkan bahwa agar layang-layang GKJ dapat terbang dengan sebaik-baiknya, saya perlu mempelajari 'angin kultural GKJ.' Nama dari disposisi ini adalah kontekstualisme, mewujudkan kebenaran dan kasih Allah dengan merangkul konteks kultural kita. Artinya kita belajar dari sesama kita, dan menekankan keadilan dan kerahiman (kemurahan hati). Namun tanpa tali konfesional yang mengikat, GKJ dapat menjadi ibarat layang-layang yang putus talinya, dan hilang ditiup angin entah ke mana. Disposisi konfesional ini ialah penekanan atas proklamasi dan ketaatan kepada kebenaran spiritual serta moral Illahi. Terlalu kuat memegangi tali konfesional, bagaimana pun, dapat membawa layang-layang itu jatuh menghunjam ke bumi.

Seni menerbangkan layang-layang GKJ membutuhkan tarikan ketegangan yang tepat antara menarik tali konfesionalisme pada satu sisi dan kepada tiupan angin kontekstualisme pada sisi yang lain. GKJ – khususnya GKJ Jakarta – pernah menunjukkan kepiawaiannya dalam melakukan 'tarik-ulur' antara kedua aspek itu. Itu sebabnya saya tidak meninggalkan GKJ.

Kedua disposisi bukan hal baru. Kedua aspek telah mempunyai sejarah panjang di GKJ, serta masing-masing telah memberikan sumbangannya yang unik dan penting kepada teologi dan budaya GKJ. Tetapi pada kenyataannya para pembela kontekstualisme dan konfesionalisme tidak selalu dapat bertatap muka. Respons mereka sering berlainan dalam menanggapi masalah yang dihadapi GKJ.

Konflik yang timbul karena perbedaan-perbedaan itu wajar, tetapi akan menjadi tragis manakala masing-masing memandang yang lain sebagai "musuh imannya." Kata-kata yang saling merendahkan seperti "kemunduran," "permisif," "ketinggalan jaman," "relativis," "legalis," dan "murtad" syukurlah tidak saling ditembakkan secara lisan atau melalui medsos. Sebab bukankah kita terpanggil untuk saling mengakui, menghargai serta saling belajar dari wawasan masing-masing? Kita saling memerlukan agar layang-layang GKJ dapat kita terbangkan.

Kedua disposisi dipersatukan di dalam Kristus: "Firman itu telah menjadi manusia (daging), dan diam di antara kita" (Yoh. 1:14a). Wawasan kontekstualis benar bahwa misi Allah menuntut agar kita menginkarnasikan (baca: memberi wujud konkrit) kebenaran Allah ke dalam konteks kultural kita. Agar kita memandang kepada dunia. [Kita selalu mengajak umat untuk "memandang kepada dunia" setiap menjelang akhir ibadah Minggu.] Namun konfesionalis juga benar dalam hal "terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya" (Yoh. 1:5). Kebenaran yang memberi kehidupan itu memang antitesis terhadap kegelapan dosa. Yesus Kristus, Firman yang menjadi manusia, adalah juga Terang dunia. Dia "penuh kasih karunia dan kebenaran" (Yoh. 1:14). Keduanya merupakan disposisi yang saling melengkapi, tidak berbenturan. Secara ideal setiap orang Kristen seharusnya berpegang pada ke dua disposisi. Tetapi secara tipikal kedosaan kita telah memisahkan kedua aspek yang telah dipersatukan Tuhan itu menjadi pilihan "ini" atau "itu."

GKJ, termasuk di dalamnya GKJ Jakarta, memerlukan kedua disposisi baik kontekstual maupun konfesional untuk melakukan misi Allah pada jaman yang berubah cepat yang sedang dihadapi GKJ.

Iblis akan senang sekali menyaksikan GKJ terkoyak menjadi dua bagian yang masing-masing mengikuti disposisi yang telah terpisahkan, ketimbang memadukannya demi pekerjaan-pekerjaan Allah yang berlangsung di dalam GKJ maupun yang dilayankan keluar oleh GKJ. Kita seharusnya mampu memikirkan tentang dan melakukan hal-hal terbaik, bukan yang terburuk dari masing-masing. Saya berpendapat bahwa kita dapat menempatkan misi Allah sebagai prioritas kolektif ketimbang mengutamakan agenda kita masing-masing. Kita dapat berfokus pada pelayanan-pelayanan yang 'menyelamatkan kehidupan' ketimbang bertujuan 'memenangkan argumen-argumen' sendiri. Dengan pertolongan Allah, semua itu akan dapat kita lakukan.

1Apa yang saya butuhkan itu ternyata tidak orisinal. Sepuluh tahun kemudian pada waktu saya kuliah di STT Jakarta (sekarang STFT Jakarta) saya membaca tentang seorang bernama Anselmus – Uskup Agung Canterbury, abad ke 11 - juga mengatakan bahwa: "iman mencari pengertian - Fides Quaerens Intellectum."


Kadarmanto Hardjowasito