Kuduslah Kamu

07 Januari 2019, 14:01
Yoel M. Indrasmoro
377

Embun Pagi (7 Desember 2019)

”Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus” (Im. 19:2). Demikianlah pembukaan hukum yang diberikan Allah kepada umat-Nya melalui Musa. Bisa disimpulkan: dasar ketaatan terhadap hukum Allah bukanlah hukum itu sendiri, melainkan karena Allah itu kudus. Kekudusan Allah menjadi dasar manusia untuk menaati hukum.

Jadi, dasar ketaatan terhadap hukum bukanlah karena takut dihukum. Ketaatan itu merupakan konsekuensi logis dari umat yang telah diselamatkan dan dikuduskan Allah sendiri. Di sini kekudusan hidup umat Allah merupakan keniscayaan. Mereka telah dikuduskan! Umat Allah tidak bisa tidak harus kudus karena TUHAN, Allahnya, kudus.

Dengan kata lain, jika TUHAN itu kudus, masak umatnya kagak? Kalau umat tidak hidup kudus, layakkah mereka disebut umat Allah? Yang juga penting: jika umat tidak menjaga kekudusannya, apakah mereka dapat bersekutu TUHAN yang kudus?

Allah yang kudus mustahil bersekutu dengan sesuatu yang cemar! Terang memang tidak bisa dipersatukan dengan gelap. Hukumnya memang demikian: terang akan menyirnakan kegelapan. Kegelapan akan hilang ketika terang muncul! Ketika manusia sengaja mencemarkan dirinya, maka persekutuan dengan Allah itu otomatis hancur!

Dan hidup kudus perlu diterapkan—mengutip syair Kidung Jemaat 260—”di lautan, di gunung, di ladang dan di bandar, di pasar, di jalan”. Di mana-mana. Sebab predikat ”umat Allah” tidak dibatasi waktu dan ruang.

Itu berarti di tempat kerja kita masing-masing, apa pun profesi kita, kita dipanggil untuk hidup kudus. Kita dipanggil pula untuk menguduskan tempat kerja kita, juga sarana dan prasarana yang kita gunakan untuk bekerja!

Selamat Bekerja,


Pdt. Yoel M. Indrasmoro