Gereja dan Kesehatan Mental

19 September 2019, 23:09
KH
1109


Saya merasa ada sesuatu yang belum terwujud dalam komunitas gereja kita. Saya dan keluarga – diam-diam atau secara terbuka – selalu membuka diri untuk berhubungan dengan mereka yang mempunyai masalah kesehatan mental dari waktu ke waktu. Di dalam komunitas gereja kita membangun kepedulian dan support group bagi para warga terdampak stroke, penderita kanker dan penderita sakit fisik lainnya. Namun dalam pengalaman pelayanan, cukup sulit untuk membangun kepedulian dan support group terkait masalah kesehatan mental. Salah satu kesulitan utama adalah sikap dan pandangan masyarakat yang ambigu terhadap mereka yang mengalami masalah kesehatan mental. Saya tidak sendirian kalau saya mengatakan bahwa mereka yang mengalami masalah kesehatan mental - beserta keluarganya - cukup sukar untuk memperoleh dukungan yang diperlukan dari komunitas gereja. Sebagai komunitas, gereja perlu move on untuk meninggalkan ke-salahkaprah-an masyarakatnya dan mendidik dirinya untuk melihat, memahami serta menyikapi masalah kesehatan mental dengan cara pandang serta sikap baru yang positif. Hanya dengan demikian komunitas gereja dapat menjadi healing community (komunitas yang menyembuhkan/memulihkan), tempat yang membantu mereka - yang kesehatan mentalnya terganggu - serta keluarga mereka.

Jumlah mereka yang menyandang masalah kesehatan mental, termasuk para penyandang autisme dalam masyarakat kita telah mencapai taraf epidemik. Kesehatan mental memengaruhi masyarakat dan komunitas gereja. Namun komunitas gereja sejauh ini hanya diam saja. Mereka yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental adalah warga komunitas kita namun sebagian besar mereka disalahfahami. Bukankah mereka juga warga gereja yang sama pentingnya dengan para warga yang lain? Saya membayangkan gambaran Paulus tentang satu tubuh dengan banyak anggota yang saling membutuhkan. Anggota yang satu tidak dapat berfungsi secara maksimal tanpa anggota yang lain.

Reaksi yang sering kita dengar ialah, “Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.” Mari kita mencari tahu apa yang dapat kita lakukan sebagai komunitas. Ketidaktahuan tidak pernah dapat menjadi pembenaran untuk memaafkan diri kita yang tidak melakukan apa pun kepada warga komunitas yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental.

Pada waktu statistik kehadiran warga gereja dalam ibadah menunjukkan penurunan, kita ribut dan mendiskusikannya panjang lebar. Namun ada yang terabaikan dalam diskusi-diskusi itu, yaitu ketidakhadiran warga gereja yang mengalami gangguan kesehatan mental serta para penyandang disabilitas lainnya. Beberapa kali saya mendengar keluhan dari mereka dan keluarganya bahwa gereja bukan tempat yang aman yang dapat menerima kehadiran mereka. Pemeliharaan spiritual yang mereka butuhkan tidak dilayani oleh gereja – oleh kita semua sebagai bagian dari gereja yang hidup. Mengapa demikian?
Salah satu penyebab kurangnya empati dan pemahaman agaknya adalah ketidakmampuan merelasikan (diri) dengan mereka. Diskusi-diskusi tentang warga dan persekutuan kita tidak cukup spesifik dalam mengangkat isu ‘bagaimana masalah kesehatan mental memengaruhi komunitas kita.’

Ini juga menyangkut masalah ‘keadilan sosial.’ Mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental adalah warga komunitas kita. Secara umum pandangan kita adalah, ‘mereka harus bisa menyesuaikan diri dengan standar “normal” dari komunitas kita.’ Kita lupa bahwa dalam kehidupan sehari-hari mereka pun memerlukan empati dan bantuan orang-orang disekitarnya.

Mereka yang sedang mengalami gangguan mental telah ‘diberi stigma’ di dalam masyarakat dan di dalam komunitas gereja. Berapa banyak diantara kita yang selalu berpikir negatif tentang mereka? Sebagai komunitas kristiani kita harus mau berusaha keras untuk mengubah hal itu. Kita dapat membuat perubahan-perubahan. [kh]