Ajaran yang Baik

24 Maret 2019, 21:03
KH
450

Ajaran Gereja1 bukan hanya merupakan pokok-pokok pemahaman iman yang mencerminkan kesetiaan dan ketepatan (ke-akurat-an) dengan Firman Tuhan, akan tetapi ia juga harus mencerminkan kearifan dan kasih dalam ‘menggunakan’ Firman Tuhan. Pada dasarnya ajaran gereja berbicara tentang keselamatan sebagai anugerah Tuhan semata-mata; tentang kasih Allah yang tanpa syarat kepada manusia. Keselamatan dan kasih-Nya itu kita terima bukan karena kebaikan kita, bukan karena kehendak bebas kita, atau karena perbuatan-perbuatan kita yang lain. Sebaliknya, keselamatan dan kasih-Nya juga tidak dapat diambil dari kita oleh siapapun dengan cara apapun. Anugerah-Nya itu membangkitkan rasa tanggung-jawab serta ‘kewajiban asazi’ dalam diri setiap orang percaya untuk menjalani hidup/kehidupan ini dengan kualitas tertentu, atau berdasarkan nilai-nilai tertentu sebagai ungkapan atau konsekwensi yang kita hayati atas anugerah – cinta-kasih dan keselamatan – yang telah kita terima dari Tuhan.

Namun kita juga memahami bahwa orang muda dari generasi milenial banyak yang tidak sabar dengan segala pernak-pernik argumentasi disekitar ajaran gereja. Bagi sebagian dari mereka argumentasi tentang ajaran gereja ibarat “bersilat kata . . . yang tidak berguna” seperti yang pernah diingatkan oleh Rasul Paulus (2 Tim. 2:14). Generasi mereka berharap untuk lebih banyak melihat iman yang dinyatakan dalam wujud konkrit dalam upaya-upaya membangun perubahan-perubahan dalam kehidupan bersama menggereja dan memasyarakat. Secara intuitif generasi milenial memahami bahwa ajaran yang baik itu tentu tentang melayani Tuhan dan sesama.

Setidak-tidaknya ada dua jenis ajaran / teologi / pemahaman iman:

  1. ajaran yang dipergunakan sebagai sarana untuk melayani Tuhan, sesama dan gereja, dan
  2. ajaran yang menjadi semacam alat kekuasaan dan otoritas.

Yang pertama menjadi sarana pencerahan berdasarkan Firman Tuhan untuk mengasihi dan melayani sesama, sementara yang kedua ajaran dan/atau teologi itu menjadi alat mengendalikan, membangun kuasa dan menegakkan otoritas. Teologi yang bagus bukan hanya tentang ketaatan dan akurasi kepada Sabda Tuhan akan tetapi harus mengandung kearifan dan cinta-kasih dalam ‘menggunakan’ Sabda Tuhan dimaksud.

Saya berjumpa dengan sejumlah orang Kristen – baik warga gereja biasa maupun mereka yang berjabatan gereja dan bertahbisan – yang gagal menangkap kebenaran itu. Arogansi yang ditimbulkan oleh “rasa benar” sering melukai kepentingan Kerajaan Allah ketimbang memajukannya. Bagi sebagian orang, teologi atau ajaran bukanlah ibarat bangku alas berlutut yang menyebabkan orang bertelut dan merendahkan diri dihadapan Tuhan, tetapi ibarat sebuah ganjal yang diatasnya orang berdiri ‘nangkring’ dan merasa lebih tinggi dari sesamanya. Orang itu mempergunakan teologi untuk memenangkan argumen sambil memamerkan kemampuan teologisnya dalam mengendalikan sesamanya, lalu melenggang. Penggunaan teologi semacam ini membuat generasi milenial kehilangan hasrat untuk bersama-sama mendalami ajaran gereja. Bukankah teologi yang baik seharusnya memberi inspirasi buat pertumbuhan iman dalam Kristus, dorongan untuk mengambil bagian dalam misi Allah, serta mengasihi Tuhan dan sesama?

KH

1 Istilah “ajaran gereja” yang saya pilih di sini, dapat berarti juga ‘teologi gereja,’ atau ‘pokok-pokok iman Kristen.’